Penulis: Joni Apriyanto
Kita perlu melihat periode tersebut dari berbagai perspektif, mulai dari pengaruh kolonialisme, pergerakan nasional, hingga perubahan politik lokal pasca kemerdekaan.
Gorontalo sebelum 1928.
Sebelum memasuki periode 1928-1965, penting memahami latar belakang Gorontalo pada era kolonial Belanda. Gorontalo saat itu merupakan bagian dari keresidenan Manado di bawah Hindia Belanda. Sistem pemerintahan masih sangat dipengaruhi oleh feodalisme lokal di mana kekuasaan dipegang oleh para raja (yang disebut sebagai Waliyyul Amri).
Pergerakan Nasional dan Perubahan Politik Lokal, 1928-1942
Pada tahun 1928, muncul momentum pergerakan nasional di seluruh Indonesia, yang juga berpengaruh di Gorontalo. Tokoh lokal seperti Nani Wartabone menjadi salah satu pemimpin pergerakan nasionalis di daerah ini. Beberapa aspek penting dari periode ini: Pembentukan Kesadaran Nasional: Pengaruh Sumpah Pemuda pada 1928 mulai menggugah semangat kebangsaan di Gorontalo. Tokoh-tokoh lokal mulai terlibat dalam pergerakan kebangsaan, meskipun terbatas oleh pengawasan ketat dari pemerintah kolonial Belanda.
Peran Elite Lokal: Elite lokal, baik dari kalangan bangsawan maupun kaum terpelajar, memiliki peran penting dalam mendorong kesadaran politik dan nasionalisme di Gorontalo. Mereka terlibat dalam organisasi seperti Partai Indonesia Raya (Parindra) dan organisasi lainnya.
Pendudukan Jepang dan Dinamika Politik Lokal, 1942-1945
Masa pendudukan Jepang, 1942-1945 mengubah dinamika politik di Gorontalo. Beberapa poin penting adalah:Mobilisasi Lokal: Jepang mendukung organisasi pemuda dan mengadakan program pelatihan militer bagi masyarakat setempat. Ini memberikan kesempatan bagi rakyat Gorontalo untuk belajar keterampilan kepemimpinan dan organisasi.Perubahan Struktural dalam Elite Lokal: Elite lokal yang sebelumnya berkuasa di bawah Hindia Belanda mulai digantikan oleh para pemimpin baru yang lebih nasionalis dan dekat dengan Jepang. Namun, loyalitas ini bersifat pragmatis, demi mendapatkan dukungan politik dan pengaruh.
Proklamasi dan Dinamika Politik Pasca Kemerdekaan,1945-1950
Setelah proklamasi kemerdekaan, Gorontalo mengalami gejolak politik yang signifikan. Nani Wartabone memainkan peran sentral dalam memproklamirkan kemerdekaan di Gorontalo pada 23 Januari 1942, beberapa tahun sebelum Proklamasi Nasional pada 17 Agustus 1945. Berikut adalah peristiwa penting dalam periode ini:Perjuangan Fisik dan Politik: Gorontalo menjadi basis perlawanan terhadap Belanda, terutama selama Agresi Militer Belanda I dan II. Konflik ini berimbas pada dinamika kekuasaan lokal, di mana elite lokal harus beradaptasi dengan situasi politik yang berubah cepat.Peran Pemuda dan Militer: Pemuda Gorontalo, banyak di antaranya sudah memiliki pengalaman militer semasa Jepang, menjadi kekuatan penting dalam perjuangan kemerdekaan.
Demokrasi Parlementer dan Keterlibatan Gorontalo dalam Politik Nasional,1950-1959
Pada periode Demokrasi Parlementer 1950-1959, Gorontalo terintegrasi dalam Republik Indonesia dan terlibat dalam dinamika politik nasional. Beberapa hal yang menonjol:Pembentukan Daerah Otonomi: Gorontalo secara resmi menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi pada 1950. Elite politik lokal mulai bersaing untuk posisi dalam pemerintahan daerah dan nasional. Partai politik seperti PNI, Masyumi, dan PSI mendominasi panggung politik Gorontalo.Kepemimpinan Lokal: para elite lokal berusaha menyeimbangkan kekuasaan tradisional dengan tuntutan politik modern yang berkembang. Beberapa bangsawan tradisional beralih menjadi tokoh politik nasionalis.Keterlibatan dalam Pemilu: Pemilihan umum pertama pada 1955 menjadi momentum penting bagi Gorontalo untuk berpartisipasi dalam politik nasional. Partisipasi ini memperkuat posisi elite lokal di panggung politik nasional.
Masa Demokrasi Terpimpin dan Dinamika Politik Lokal,1959-1965
Pada 1959, Presiden Sukarno memperkenalkan sistem Demokrasi Terpimpin, yang membawa perubahan signifikan pada dinamika politik di Gorontalo: Sentralisasi Kekuasaan: Elite lokal di Gorontalo harus berhadapan dengan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah menjadi lebih terbatas, dan kekuasaan dipusatkan di tangan pemerintah nasional.Pengaruh PKI dan Konflik Ideologis: Sebagai bagian dari dinamika nasional, pengaruh PKI (Partai Komunis Indonesia) mulai memasuki wilayah Gorontalo. Namun, peran PKI di Gorontalo tidak sebesar di wilayah lain di Indonesia. Masyumi dan kekuatan Islam lainnya masih mendominasi politik lokal. Elite Lokal dalam Konflik: Perubahan ideologi politik di bawah Demokrasi Terpimpin memunculkan konflik di antara elite lokal, terutama antara mereka yang mendukung Sukarno dan yang lebih konservatif atau religius.
Kesimpulan:Periode 1928-1965 merupakan masa yang dinamis bagi sejarah Gorontalo. Demokrasi, elite lokal, dan dinamika politik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, dan politik nasional Indonesia. Peran elite lokal sangat penting dalam mengarahkan perubahan sosial dan politik, baik melalui pergerakan nasional, perjuangan kemerdekaan, maupun dalam membentuk politik lokal pasca kemerdekaan.Pada masa ini, kita melihat bagaimana proses modernisasi politik dan demokrasi berdampingan dengan warisan tradisi lokal, sehingga menciptakan perpaduan yang unik dalam sejarah Gorontalo.
Pelaksanaan Praktek Kuliah Lapangan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosisal
Sosialisasi Jurusan Sejarah